Ilustrasi : agen-gamat.biz |
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana
glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan
hiperglikemia. 1,2 DM merupakan kelainan
endokrin yang terbanyak dijumpai.3 Penderita DM mempunyai
risiko untuk menderita komplikasi yang spesifik akibat perjalanan penyakit ini,
yaitu retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal ginjal, neuropati,
aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan penyakit
arteria koronaria (Coronary artery disease).1,2,3
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya
berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes
Association (ADA), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat (AS) menderita DM dan yang
tidak terdiagnosis sekitar 5,4 juta. Dengan demikian, diperkirakan lebih dari
15 juta orang di AS menderita DM. Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM
sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah Manado prevalensi
DM sebesar 6,1%.4
Pemeriksaan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakkan
diagnosis serta memonitor Tx dan timbulnya komplikasi spesifik akibat penyakit.
Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah
komplikasi.1,5,6 Tujuan penulisan ini adalah untuk
mengetahui jenis pemeriksaan pada penderita DM.
Klasifikasi dan Patogenesis Diabetes Melitus
DM adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa
darah.1,2,3 Menurut anjuran PERKENI yang sesuai dengan
anjuran ADA 1997, DM bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes
tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain.2,3,4
Diabetes Tipe 1
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel b
pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80--90% maka
gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada
anak-anak daripada dewasa.2,3 Sebagian besar penderita
DM tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan
sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia
tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.2
Diabetes Tipe 2
DM tipe 2 merupakan 90% dari kaaus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan
perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta.
Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk
mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.2,3 Gejala minimal dan kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini, yang
umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah,
maupun tinggi, sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.2
DM Dalam Kehamilan
DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM
ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus,
polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM
mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia.
Frekuensi GDM kira-kira 3--5% dan para ibu tersebut meningkat risikonya untuk
menjadi DM di masa mendatang.2
Diabetes Tipe Lain
Subkelas DM di mana individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan
spesifik (kelainan genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushing’s,
akromegali), penggunaan obat yang mengganggu fungsi sel beta (dilantin),
penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-adrenergik), dan
infeksi/sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).2
Pemeriksaan
Untuk Dx DM: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa, 2 jam setelah
makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).1,2,3,4,5,7
Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta
adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICA),
insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap glutamic acid decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di
sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan
adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi
berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim yang
dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA).
Anti GAD ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi,
3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala DM muncul.2
Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan
untuk memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pankreas
atau transplantasi sel-sel pulau pankreas.2
Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Untuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6--12 jam sebelum diambil darahnya.
Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa
dia makan/minum glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan
dalam waktu 15--20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan
glukosa 2 jam PP.2,3,4
Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar
glukosanya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu),
darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida,fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah
palsu.2,8,9 Ini sangat penting untuk diketahui karena
kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak
sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan
penderita DM.
Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa
Metode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan
lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode
glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase.1,2,8,9
Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena
enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen
(tak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam
urat, dan asam askorbat.2,8
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan
presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang
digunakan spesifik untuk glukosa.8 Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998) 3,4,7
Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DM
Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin.2,3,4,7,10 Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini
memerlukan prosedur yang memakan waktu lama.7 Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini
bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.1,7
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari
reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A
dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori
menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel.7,10,11 Metode pemeriksaan HbA1C: ion-exchange
chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography), Electroforesis,
Immunoassay, Affinity chromatography, dan analisis kimiawi
dengan kolorimetri.1,2,10,11
Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari
bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa
memberikan hasil negatif palsu.2,10
Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange
chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali.
Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.10
Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC,
tetapi presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu,
tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada
metode ini.2
Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai
presisi yang baik.2
Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu.
Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini,
tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil
pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.2,10
Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena
tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran yang
kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.10
Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila
glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita
DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya )
sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari komplikasi 2,3,4,5,7,10,11
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum.1,18 Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara
rutin tiap 3 bulan sekali.4
Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DM
Komplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan
retinopati. Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa
dari komplikasi spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi nefropati dan
gangguan aterosklerosis.2,3,4,6,7
Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta
heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang dilakukan).1,2,3,4,5,6,7,12,13,1,15,16 Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum ureum dan kreatinin
untuk melihat fungsi ginjal.4
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau
sebesar 20-200 mg/menit.2,3,6,14 Mikroalbuminuria ini
dapat berkembang menjadi makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka
akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat
dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan
menuju ke nefropati bisa diperlambat.3,4,6 Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan menggunakan strip
atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang
digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-linked
Immunosorbent assay (ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi,
sensitivitas, dan range yang mirip, serta
semuanya menggunakan antibodi terhadap human albumin.2,6,12,14 Sampel yang digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam.15
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria
normal (<20 mg/menit), mikroalbuminuria (20--200 mg/menit), Overt Albuminuria (>200 mg/menit).2,17 Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada
semua penderita DM usia > 12 tahun.17
Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil
lipid, yaitu kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.4,5,7,18 Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta berpuasa sedikitnya 12
jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai puncaknya 6
jam setelah makan).21
Pemeriksaan untuk Komplikasi Lainnya
Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin.
Pemeriksaan ini bisa untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada
penderita DM.3
Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur
(pembiakan), misalnya kultur darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan
lain yang juga seringkali dibutuhkan adalah pemeriksaan kadar insulin puasa dan
2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah atau tidak.
Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi
dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan
asidosis/alkalosis metabolik maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan
analisa gas darah. Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan
keton bodies, misalnya aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar
beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk
penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human
Lymphocyte Antigen) serta pemeriksaan genetik lain.
Kesimpulan
DM adalah kelainan metabolisme karbohidrat yang merupakan kelainan endokrin
terbanyak.. Di Indonesia, prevalensi DM sebesar 1,5--2,3% penduduk usia > 15
tahun, bahkan di Manado didapatkan prevalensi DM sebesar 6,1%.
Penderita DM mempunyai risiko komplikasi yang spesifik, yaitu retinopati,
gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis, stroke, gangren, ataupun
penyakit arteria koronaria. Pemeriksaan laboratorium DM: menegakkan Dx serta
memonitor Tx dan timbulnya komplikasi. Pemeriksaan Dx: kadar gula darah puasa
dan 2 jam PP, TTGO (lihat konsensus PERKENI 1998 ).
Pemeriksaan monitor Tx: kadar glukosa puasa, 2 jam PP dan HbA1C, serta urinalisa rutin. Pemeriksaan yang mendeteksi kelainan nefropati dini:
mikroalbuminuria (masih reversibel), dan yang rutin adalah serum ureum dan
kreatinin untuk melihat fungsi ginjal. Pemeriksaan untuk memantau komplikasi
aterosklerosis: profil lipid (kolesterol total, low density lipoprotein
cholesterol/LDL-C, high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum), serta mikroalbuminuria.
Pemeriksaan adanya komplikasi lain: darah dan urinalisa rutin (adanya
infeksi), kultur urine maupun darah, elektrolit serta analisa gas darah, keton
/aceton urine, asam laktat darah, insulin darah, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
- Dods R.F, Diabetes Mellitus, In Clinical Chemistry: Theory,
Analysis, Correlation, Eds, Kaplan L.A, Pesce A.J, 3rd Edition, Mosby Inc, USA, 1996:613-640
- Sacks D.B., Carbohydrates, In Tietz Fundamentals of
Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company,
USA, 2001:427-461
- Foster D.W, Diabetes Mellitus, In Harrison’s Principles of
Internal Medicine, Eds Fauci, Braunwald, Isselbacher, et al, 14th Edition, McGraw-Hill Companies,
USA, 1998:623-75
- Hendromartono, Consensus on The
Management of Diabetes Mellitus (Perkeni 1998), In Surabaya Diabetes Update VI, Eds Tjokroprawiro A,
Hendromartono, Sutjahjo A, Tandra H., Pranoto A., Surabaya, 1999:1-14
- Kaplan, L.A., Laboratory
Approaches, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A.,
1987:94-96
- Tabaei B.P., Al-Kassab A.S.,
Ilag L.L., et al, Does Microalbuminuria Predict Diabetic Nephropathy?, Diabetes Care, 24:9, 2001:1560-1566
- Alberti K.G.M.N., Zimmet P.,
DeFronzo R.A., International Textbook of Diabetes Mellitus, Second Edition, John Wiley
& Sons Ltd., England, 1997:1027-1074
- Kaplan, L.A, Carbohydrates and
Metabolites, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A.,
1989:850-856
- Landt M., Glyceraldehide
Preserves Glucose Concentrations in Whole Blood Specimens, Clinical Chemistry, 46:8, 2000:1144-1149
- King, M.E., Glycosylated
Hemoglobin, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A.,
1987:113-116
- Peterson, K.P., Pavlovich J.G.,
Goldstein D., et al., What is Hemoglobin A1c? An Analysis of Glycated
Hemoglobins by Electrospray Ioni-zation Mass Spectrometry, Clinical Chemistry, 44:9, 1998:1951-1958
- Gendler, S.M., Albumin, In Method’s in Clinical
Chemistry, Eds
Amadeo J, Kaplan L.A., 1987:1066-1073
- Larson, T.S., Santanello N.,
Shahinfar S., O’Brien P.C., et al, Trend in Persistent Proteinuria in
Adult-Onset Diebetes, Diabetes Care, 23:1, 2000:51-56
- Mogensen C.E., Viberti G.C.,
Peheim E., Kutter D., et al, Multicenter Evaluation of Micral-Test II Test
Strip, an Immunologic Rapid Test for the Detection of Microalbuminuria, Diabetes Care, 20:11, 1997:1642-1646
- Newman D, Price C.P, Renal
Function, In Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A, Ashwood E.R,
5th Edition, W.B. Saunders Company, USA, 2001:698-722
- Pedrinelli R., Glampletro O.,
Carmassi F., Melillo E., et al, Microalbuminuria and Endothelial
Dysfunction In Essential Hypertension, Lancet, 344, 1994:14-18
- Yogiantoro M., Management of
Diabetic Nephropathy, In Surabaya Diabetes Update VI, Eds Tjokroprawiro A,
Hendromartono, Sutjahjo A, Tandra H., Pranoto A., Surabaya, 1999:63-68
- Rifai N, Albers J.J., Bachorik
P.S, Lipids, Lipoproteins and Apolipoproteins, In Tietz Fundamentals of
Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company,
USA, 2001:462-493
- Naito, H.K., Cholesterol, In Method’s in Clinical
Chemistry, Eds
Amadeo J, Kaplan L.A., 1987:1156-1176
- Naito, H.K., High-density
Lipoprotein (HDL) Cholesterol, In Method’s in Clinical
Chemistry, Eds
Amadeo J, Kaplan L.A., 1987:1179-1192
- Naito, H.K., Triglycerides, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A., 1987:1215-1226
ANIK WIDIJANTI DAN BERNARD THEODORE
RATULANGI
Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar / FK Unibraw, Malang
Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Saiful Anwar / FK Unibraw, Malang
Sumber : www.tempo.co.id
Posting Komentar