Taenia saginata dengan hospes perantaranya sapi dan Taenia solium dengan hospes perantaranya babi, merupakan 2 jenis
cacing pita yang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan penyakit
zoonosis parasitik yang disebut taeniasis (Bakta, 1996 :520)
Infeksi kedua cacing
pita tersebut pada manusia sebagai hospes definitif terjadi saat parasit
tersebut berada dalam bentuk larva yang lazim disebut sistierkus. Jika manusia
makan daging sapi atau babi yang dimasak tidak sempurna dan mengandung
sistiserkus bovis atau sistiserkus sellulose, maka dalam usus manusia
sistiserkus ini akan menjadi cacing pita saginata atau solium. Manusia yang
mendapatkan infeksi cacing pita akan mengeluarkan telur dan telur tersebut akan
menginfeksi hospes perantara (Koesharjono;dkk., 1987 :23)
Sistiserkosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita
pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista
atau Cysticercus
cellulosae.
Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia
termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis
terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera
Utara. Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia
berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi
Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Sistiserkosis dapat menimbulkan
gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak, sedangkan
taeniasis menyebabkan gejala-gejala saluran pencernaan yang lebih ringan.
Kasus taeniasis di
Indonesia yang disebabkan oleh infeksi Taenia
saginata pertama kali dilaporkan di malang oleh Luchmant pada tahun 1867
dan infeksi Taenia solium dilaporkan
pertama kali di Kalimantan Barat oleh Bonne pada tahun 1940. Di Indonesia
taeniasis dilaporkan terdapat di daerah Bali (0,4- 7,1 %), Nusa Tenggara Timur
(7%), Irian jaya (8%), dan lokasi transmigrasi asal Bali seperti di Sulawesi Tenggara
dan Lampung (Bakta, 1996 :521)
Biasanya tidak
disadari bahwa manusia dapat menjadi induk semang cacing pita, tetapi pada
pertengahan abad 19, ketika cacing pita ini menyebar, sistiserkusnya ditemukan
pada 2 % manusia yang diotopsi di Berlin. Tetapi sekarang, sejak tinja manusia dibuang
lebih efisien, kejadian sistiserkus pada manusia banyak menurun sedemikian
banyak sehingga secara praktis dapat diabaikan. Kenyataannya C. cellulosae jarang pada babi di AS.
Sistiserkosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia
solium (cacing pita babi), sedangkan taeniasis solium disebabkan cacing
dewasa yang hidup di dalam rongga usus halus manusia. Penyakit ini sampai
sekarang terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Sumatera Utara dan
Papua. Prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu
42,7%
Dari beberapa kasus
taeniasis solium yang telah diteliti maka dilaporkan bahwa kasus kasus tersebut
dikarenakan masuknya babi yang dibawa oleh penduduk yang dibawa pada saat
pindah ke daerah tersebut atau oleh penderita langsung yang bertransmigrasi ke
daerah- daerah tersebut (Rasidi; dkk., 1990 : 379)
Di Bali kehadiran
taeniasis solium pada penduduknya telah dikenal sejak lama yaitu dengan istilah
penyakit beberasan. Berbeda dengan daerah Indonesia lainnya, hampir seluruh
penduduk bali memeluk agama Hindu yang dalam upacara adat dan keagamaan atau dalam kehidupan sehari-hari penduduk
mempunyai keniasaan makan -makanan tradisional yang disebut lawar, yang terbuat
dari daging babi mentah atau setengah matang yang diduga menyebabkan taeniasis
solium (Arwati ; Supari, 1977 : 1; sutisna : 227)
Selain itu kemungkinan
masih adanya penduduk, terutama di desa yang buang air besar tidak di jamban
atau di kakus melainkan di sungai atau di teba (halaman rumah) sehingga tinja
manusia dimakan oleh babi dan dapat mencemari pakan babi. Semuanya ini dapat
memberi kesempatan daur hidup taenia- sistiserkus berlangsung tanpa hambatan.
Keadaan- keadaan inilah yang mungkin masih ada dan berjalan di Bali sehingga
menimbulkan kejadian- kejadian taeniasis (Waruju, 1988 : 19)
B.
Pembatasan masalah
Makalah ini dibuat
hanya dilakukan terhadap bagaimana pengendalian dan upaya pencegahan Penyakit Taeniasis
dan sistiserkosis Taenia solium
dengan metode pustaka.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pengendalian dan upaya pencegahan penyakit taeniasis dan sistiserkosis Taenia solium pada penduduk pemakan daging babi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Gambaran Taenia solium
1.
Sejarah
Cacing pita terdapat pada daging babi diketahui sejak zaman Hippocrates atau mungkin sudah sejak zaman para Nabi walaupun pada waktu itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi sampai pada karya Geoze (1782)Aristophane dan Aristoteles melukiskan stadium larva atau sistiserkus sellulose pada lidah babi hutan. Gessner (1558) dan Kumier (1855) melaporkan stadium larva pada mannusia . Kuchen meister (1855) dan Leukart (1856) adalah sarjana – sarjana yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva cacing Taenia solium.
Infeksi ini ternyata
sudah dikenal sejak zaman Masehi, sedang siklus hidupnya digambarkan pada
pertengahan tahun 1850 (Beaver dkk, 1984) . Cacing pita ini ditemukan
diberbagai tempat di dunia dan diperkirakan merupakan parasit manusia yang
penting terutama dimana daging babi mentah atau setengah matang dimakan
Infeksi sistiserkosis
dengan (larva) Taenia solium relatif
umum di tempat-tempat tertentu di dunia , tetapi jarang di Amerika Serikat
(jung dkk, 1981; Keane 1980) . Bentuk infeksi ekstraintestinal tersebut lebih
serius daripada terdapatnya cacing
dewasa di dalam usus.
Taenia saginata sudah dapat dibedakan dengan Taenia solium pada akhir tahun 1700-an tetapi sapi tidak dikenal
sebagai hospes perantaranya sampai tahun 1863 (Leukart, 1863). Infeksi ini
distribusinya kosmopolit dan umumnya lebih sering terjadi dari pada Taenia solium terutama di amerika
Serikat (tabel 13.1). Secara umum, pengaruh pada kesehatan manusia lebih ringan
dibanding dengan Taenia solium karena
sistiserkosis dengan Taenia saginata
jarang sekali terjadi.
2.
Klasifikasi
Filum : Platyhelminthes
Kelas :
Cestoda
Ordo :
Cyclophyllidae
Famili :
Taniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia solium
Cestoda, atau cacing pita, merupakan
subfilum lain di dalam filum Platyhelminthes. Mereka tidak mempunyai rongga
badan dan semua organ – organ tersimpan di dalam jaringan parenkim. Semua
cacing pita bersifat parasit, dan telah bermodifikasi secara besar-besaran
untuk eksistensi parasit tersebut.
Taenia
solium adalah salah satu jenis cacing pita
yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikisai taksonomi
cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, dan genus Taenia. Tergolong
dalam satu jenis genus dengan Taenia
solium adalah Taenia saginata dan
Taenia asiatica yang juga bersifat
zoonosis (Rajshekkhar et al.2003)
3. Hospes
dan Nama penyakit
Hospes definitif cacing Taenia solium adalah manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah
manusia dan babi . Manusia yang dihinggapai cacing Dewasa Taenia solium juga menjadi hospes perantara cacing ini.
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing Taenia solium adalah taeniasis dan
sistiserkosis. Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing yang tergolong dalam genus taenia yang dapat
menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Sistiserkosis ialah infeksi
jaringan oleh bentuk larva Taenia solium
(sistiserkus sellulosa) pada manusia akibat termakan telur cacing Taenia solium pada daging babi.
Sedangkan istilah Neurosistiserkosis digunakan untuk infeksi oleh larva yang
mengenai sistem saraf pusat (SSP).
Cacing
pita babi diberi nama khusus solium karena biasanya hanya ditemukan cacing pita
tunggal pada satu induk semang. Sistiserkusnya dikenal sebagai Cysticercus cellulosae, ditemukan pada
urat daging babi, anjing dan kadang – kadang manusia. Kemungkinan sistiserkus
tersebut sebesar 20 x 10 mm, tetapi biasanya jauh lebih kecil. Sistiserkus ini
menyebabkan suatu kondisi yang dikenal sebagai bintil daging.
4. Morfologi
Taenia
solium merupakan Cacing pita babi pada
manusia. Cacing dewasa terdapat pada usus halus mannusia, dan dapat mencapai 2
sampai 7 m dan dapat bertahan hidup selama 25 tahun atau lebih. Organ pelekat
atau skoleks, mempunyai empat batil isap yang besar serta rostelum yang bundar
dengan dua baris kait berjumlah 22-32 kait. Kait besar (dalam satu baris)
mempunyai panjang 140 – 180 mikron dan bagian yang kecil (dalam baris yang
lain) panjangnya 110-140 mikron. Bagian lehernya pendek dan kira – kira
setengah dari lebar skoleks. Jumlah keseluruhan dari proglotid kurang dari
1000, proglotid imatur bentuknya lebih melebar daripada memanjang, yang matur
berbentuk mirip segi empat dengan lubang kelamin terletak di bagian lateral
secara berselang seling di bagian kiri dan kanan proglotid berikutnya, sedang
segmen gravid bentuknya lebih memanjang daripada melebar. Proglotid gravid
panjangnya 10-12 x 5-6 mm, dan uterus mempunyai cabang pada masing – masing
sisi sebanyak 7 – 12 pasang. Segmen yang gravid biasanya dilepas secara berkelompok
5-6 segmen tetapi tidak aktif keluar dari anus. Proglotid gravid dapat
mengeluarkan telur 30.000 – 50.000 butir telur. Telurnya berbentuk bulat atau
sedikit oval (31 -43 mikro meter),mempunyai dinding yang tebal, bergaris garis,
dan berisi embrio heksakan berkait enam atau onkosfer. Telur – telur ini dapat
tetap bertahan hidup di dalam tanah untuk berminggu –minggu.
5. Siklus
hidup
Taenia
solium yang berparasit di bagian proksimal
jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia
(Soulsby 1982; Chin dan Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan
menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam
tinja penderita taeniasis antara 8 -12 minggu setelah orang yang bersangkutan
terinfeksi (Chin dan Kandun 2000) Sewaktu - waktu proglotida gravid berisi
telur akan dilepaskan dari ujung
strobila cacing dewasa dalam kelompok – kelompok yang terdiri dari 5
sampai 6 segmen. Prolotida gravid keluar
bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu
berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah
lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan
(IIsoe et al.2000)
Infeksi
akan terjadi apabila telur berembrio tertelan oleh babi yang merupakan induk
semang antara Taenia solium. Di dalam
luimen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfer).
Selanjutnya onkosfer tersebut menembus dinding usus, masuk ke pembuluh limfe
atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organ –
organ yang disukai (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah , otot daerah
pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paru-paru,ginjal,hati. Kista mudah
terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi.
Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan Cysticercus Cellulosae. Bila daging babi
yang mengandung parasit ini dimkan oleh
manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks
(protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan
menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu bebrapa
bulan (Soulsby; 1982)
Cysticercus
cellulosae juga dapat dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan sub kutan, mata,
jantung dan otak (Ahuja et al.1978).
Kejadian ini disebabkan tertelannya makanan atau minuman yang terkontaminasi
oleh telur parasit tersebut . Sumber kontaminasi parasit ini berupa tinja
manusia yang mengandung parasit, tangan manusia yang kotor penderita Taeniasis,
dan dapat juga akibat autoinfeksi intern karena munthan telur ke dalam lambung,
akibat adanya anti peristaltik(Cheng 1986; Bakta 1987 diacu dalam Dharmawan 1990)
6. Cara
Penularan
Cysticercus
cellulosa yang terdapat dalam daging babi yang
mentah atau tidak dimasak kurang sempurna , termakan oleh manusia dan akan
menimbulkan penyakit Taeniasis. Bila
menelan telur Taenia sp atau
proglotid gravid yang terdapat pada makanan atau minuman yang terkontaminasi
akan teradi Cysticercosis. Infeksi terhadap dirinya sendiri yang berasal dari
keberadaan cacing dewasanya di dalam usus dan mungkin terjadi autoinfeksi
internal dimana telurnya akan bercampur dengan asam lambung sehingga menetas
dan larvanya masuk kedalam jaringan.
7. Gejala
Klinik
Ø Taeniasis
Cacing dewasa yang biasanya berjumlah
seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti kecuali iritasi ringan
pada tempat perlekatan atau gejala gejala abdominal yang tersamar. Bila ada
dapat berupa nyeri ulu hati ,mencret,mual, obstipasi dan sakit kepala. Dapat dijumpai
eosinofilia ringan, biasanya dibawah 15 %. (Gandahusada et al 2000)
Kondisi acut dan komplikasi dapat
terjadi jika ada migrasi cacing dewasa pada tempat yang tidak umum misalnya,
appendix, pankreas dan saluran empedu. Secara psikiologis penderita dapat
merasa cemas karena adanya segmen atau proglotid pada tinja. Penderita akan
merasa gatal sekitar anus dan dapat menemukan segmen pada pakaian dalam
(celana) atau tempat tidur. Segmen ini mempunyai istilah yang berbeda- beda
pada setiap daerah, misalnya di Bali dikenal dengan istilah ampas nangka, di
Toraja dengan istilah banasan dan di Sumatera Utara dengan istilah manisan
(Sutisna, 19998 : 158 : Ditjen P2M & PLP, 1986 : 6)
Ø Cystiserkosis
Sistiserkosis menimbulkan gejala dan
efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh manusia. Manusia
dapat terjangkit satu atau sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang
berbeda – beda. Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak
(disebut neurosistiserkosis) mata,otot, dan lapisan bawah kulit.
Gejala
klinis biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut
biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah
seseorang terinfeksi (Chin dan Khadun 2000;Gandahusada et al.2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada
jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga
perut. Klasifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya
tidak menimbulkan gejala,namun sewaktu – waktu dapat menyebabkan
pseoduhipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia
(Gandahusada et al.2000) . Pada
jaringan otak atau medulla spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi.
Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan
ayan (epilepsi), meningo –ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan
intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang –kadang kelainan jiwa.
Hidrosefalus Internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan
serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang
ditemukan dalam ventrikel IV dari otak , dapat menyebabkan kematian
(Gandahusada et al.2000)
8. Diagnosis
·
Taeniasis
Dapat ditegakkan
dengan 2 cara :
1. Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)
Didalam anamnesis
perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid
(segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara
spontan
2. Pemeriksaan Tinja
Tinja
yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya
diperiksa dalam keadaan segar. Bila
tidak memungkinkan untuk diperiksa segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10%
atau spirtus sebagai pengawet.
Pemeriksaan tinja secara mikroskopis
dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara relatif) bahan pengencer
yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol. Dari satu spesimen tinja dapat digunakan
menjadi empat sediaan. Bilamana ditemukan telur cacing Taenia sp, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis. Pada
pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat ditemukan proglotid.
Pemeriksaan dengan metode langsung ini
kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang tidak selalu ada dalam tinja
dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode pemeriksaan lain yang lebih
sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi eter; anal swab; dan
coproantigen (paling spesifik dan sensitif).
·
Sistiserkosis
Diagnosa
sistiserkosis biasanya tergantung pada pembedahan untuk mengeluarkan parasitnya
dan pemeriksaan mikroskopik atas adanya batil isap dan kait pada skoleks.
Seringkali terdapat larva multipel dan adanya sistiserkus dalam jaringan
subkutan atau otot menunjukkan bahwa otak mungkin juga terkena. Larva yang mengalami
perkapuran dapat langsung terlihat pada sinar-X . CT Scan dapat memperlihatkan
adanya lesi dalam otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam otak. Apabila bentuk
rasemosa ada dalam otak, CT scan tidak dapat membedakan lesi dengan tumor –
tumor yang disebabkan oleh penyebab lainnya. Sistiserkosis mata biasanya dapat
didiagnosis melalui identifikasi visual dari gerakan dan morfologi dari
larvanya. Meskipun test serologis dapat membanbtu pada beberapa kasus, dapat
dijumpai reaksi silang di antara sistiserkosis dan infeksi hidatid (Schantz
dkk, 1980)
Dinyatakan
tersangka sistiserkosis apabila pada :
a) Anamnesis :
1. Berasal dari / berdomisili di daerah
endemis taeniasis/ sistiserkosis
2. Gejala Taeniasis
3. Riwayat mengeluarkan proglotid
4. Benjolan (“nodul subkutan”) pada salah
satu atau lebih bagian tubuh
5. Gejala pada mata dan gejala
sistiserkosis lainnya
6. Riwayat / gejala epilepsi
7. Gejala peninggian tekanan intra
kranial
8. Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan fisik :
1. Teraba benjolan / nodul sub kutan atau
intra muskular satu atau lebih
2. Kelainan mata (oscular cysticercosis)
dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
c) Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan tinja secara makroskopis :
proglotid
2. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis :
Telur Taenia Sp
3. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis
4. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan
gambaran menunjukkan patologi anatomi yang khas untuk sistiserkosis
·
Neurosistiserkosis
Dinyatakan adanya
tersangka neurosistiserkosis apabila :
a) Anamnesis :
1. Berasal dari / berdomisili di daerah
endemis taeniasis/ sistiserkosis
2. Gejala Taeniasis
3. Riwayat mengeluarkan proglotid
4. Gejala pada mata dan gejala
sistiserkosis lainnya
5. Riwayat / gejala epilepsi
6. Gejala peninggian tekanan intra
kranial
7. Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan fisik :
1. Teraba benjolan / nodul sub kutan atau
intra muskular satu atau lebih
2. Kelainan mata (oscular cysticercosis)
dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
4. Pemeriksaan penunjang
5. Pemeriksaan tinja secara makroskopis :
proglotid (+)
6. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis :
Telur Taenia Sp (+)
7. Pemeriksaan darah tepi : Hb, Leukosit
(Leukositosis), Eritrosit, hitung jenis (eosinofilia), LED (meningkat dan gula
darah)
8. Pungsi Lumbal sel (eosinofil meningkat
70 %),protein (meningkat 100%), glukosa (menurun 70 % dibandingkan dengan
glukosa darah) NaCl.
9. Pemeriksaan serologis (ELISA dan
immunoblot): sistiserkosis (+) spesimen yang diperiksa berupa cairan otak (LCS)
kurang lebih 2-3 cc. Tempat pemeriksaan di laboratorium yang telah ditentukan.
Pengiriman spesimen cairan otak dengan tabung / botol steril dan es batu (1
derajat C) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala (untuk kista
yang sudah mengalami kalsifikasi) dan lebih baik lagi pemeriksaan CT- Scan
(Computerized Tomography Scanning) atau MRI.
9. Distribusi
Geografis
Penyebaran Taenia solium bersifat
kosmopolit,terutama di negara – negara yang mempunyai banyak peternakan babi
dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di eropa, Amerika Latin,
Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah
ditemukan di negara Islam yang melarang pemeliharaan dan mengkonsumsi babi.
Kasus taeniasis atau sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di
Indonesia, antara lain Irian Jaya, Bali, dan Sumatera Utara. Infeksi penyakit
ini juga sering dialami oleh para transmigran yang berasal dari daerah – daerah
tersebut (Gandahusada et al.2000)
Penyakit yang disebabkan cacing pita ini,
sering dijumpai di daerah dimana orang – orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
daging babi yang dimasak tidak sempurna. Disamping itu kondisi kebersihan
lingkungan yang jelek dan melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan
babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia
solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris,
dan di negara – negara skandinavia. Penularan oral vekal oleh karena kontak
dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia
solium dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang meningkat di Amerika. Para
imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit
ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik.
10. Pengendalian
dan Upaya Pencegahan
Pengendalian cacing pita Taenia dapat
dilakukan dengan memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing
Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui diagnosa dini dan
pengobatan terhadap penderita yang terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat
digunakan yaitu : Atabrin, Librax dan niklosamida dan Prazikuantel. Sedangkan
untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazola dan dexametason.
Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia, diperlukan
peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi
pada ternak, terutama pada babi didaerah endemik Taeniasis dan cysticercosis
serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia.
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk
memutuskan siklus hidup Taenia, karena lingkungan yang kotor dapat menyebabkan
menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam feces ke lingkungan
menjadi sumber penyebaran taeniasis ,sistiserkosis. Faktor fresiko utama
transmisi telur Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defikasi
manusia didekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan feces manusia dan
pemeliharaan babi dekat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada taenia ke
sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat – tempat lembab
sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas.
Kontrol
penyakit akibat Taenia dilingkungan dapat dilakukan melalui peningkatan sarana
sanitasi dan pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi, pencegahan
kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. Pembangunan sarana
sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih
sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi dapat
dilakukan melalui pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH)
yang diawasi oleh dokter Hewan.
Pencegahan
Taeniasis yang utama adalah menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati semua
penderita Taeniasis disuatu daerah. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan diri dan lingkungan, salah satunya dengan menyediakan jamban
keluarga. Penyediaan jamban keluarga bertujuan untuk mencegah agar tinja
manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah / rumput peternak. Pemelihara
sapi atau babi juga harus dijaga agar hewan peliharaannya tidak berkeliaran
sehingga tidak mencemari lingkungan.
Pemeriksaan
daging oleh dokter hewan pun harus dilakukan sehingga masyarakat tidak
mengkonsumsi daging yang mengandung kista selain itu perlu dilakukan penyuluhan
mengenai bahaya mengkonsumsi daging yang mengandung kista, oleh karena itu
masyarakat juga harus mengetahui bentuk kista dalam daging. Hal tersebut
penting dilakukan di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara adat
seperti di Sumatera Utara, Bali, dan Irian Jaya.
Di beberapa daerah di tanah air yang memiliki
kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentahpun perlu dilakukan
penyuluhan untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Masyarakat perlu diberi
pemahaman tentang resiko yang akan diperoleh apabila memakan daging mentah /
setengah matang. Penting pula bagi masyarakat untuk mengetahui manfaat memasak
daging sampai matang (> 57o C dalam waktu cukup lama) atau
membekukan (< 10o C selama 5 hari). Pendekatan tersebut biasanya
tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat setempat karena keputusan akhir
yang diambil harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan
(Primz sumber www.depkes.org.maret 2007).
TIPS penanganan daging yang higienis :
·
Sesegera
mungkin daging yang telah dibeli diolah/ dimasak
·
Bila
akan dimasak lebih dari 4 jam dianjurkan disimpan pada suhu dingin (di bawah 4o
C)
·
Bila
akan disimpan beku, dianjurkan daging dipotong – potong terlebih dahulu sesuai
kebutuhan, lalu dimasukkan kedalam kemasan atau wadah tertutup yang bersih
kemudian disimpan pada suhu dibawah -18o C
·
Cucilah
tangan sebelum dan sesudah mengolah/ memasak daging
·
Tutup
luka dengan plester yang kedap air
·
Hindari
bersin dan batuk langsung di depan daging
·
Usahakan
ruang memasak daging bebas dari insekta (lalat,nyamuk,kecoa,semut) dan rodensia
(tikus)
·
Gunakan
peralatan yang bersih untuk menyimpan, mempersiapkan, mengolah, dan memasak
daging
·
Cuci
peralatan dengan baik setelah digunakan
(Buletin Penyakit
Zoonosa : edisi keempat 2009)
11. Pengobatan
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan
praziquantel atau niklosamid (Sotelo dkk, 1985). Karena kemungkinan
sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi, pasien harus segera diobati
setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan
tindakan bedah. Pada kasus sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan
kista daripada enukleasi. Untuk mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk
mengambil sistiserkusnya ketika masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah
dicoba dengan derajat keberhasilan yang berbeda – beda dalam memberantas
sistiserkus; praziquantel, yang mungkin membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk,
1980; Botero dan Castano, 1981); dan metrifonat untuk sistiserkosis kutan
(Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila
terdapat cacing dewasanya, baik bila sistiserkus dapat diambil dengan tindakan
bedah, dan buruk bila terdapat parasit dalam bentuk rasemosa, terutama dalam
otak. Beberapa regimen obat baru juga terbukti sangat efektif untuk membunuh
sistiserkus.
12. Epidemiologi
Walaupun cacing ini kosmopolit. Kebiasaan
hidup penduduk yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dari agama, memainkan
peranan penting. Pada orang2 yang bukan pemeluk agama islam, yang biasanya
memakan daging babi jarang ditemukan.
Cara
menyantap daging tersebut yaitu matang, setengah matang atau mentah dan
pengertian akan kebersihan atau higiene memainkan peranan penting dari
penularan cacing Taenia solium maupun
sistiserkus sellulose. Pengobatan
perorangan maupun masal harus dilakukan agar penderita tidak menjadi sumber infeksi
bagi diri sendiri maupun ternak.
Pendidikan
mengenai kesehatan harus dirintis. Cara-cara ternak babi harus diperbaiki, agar
tidak kontak dengan tinja manusia. Sebaiknya untuk ternak babi harus digunakan
kandang yang bersih dan makanan ternak yang sesuai.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Pencegahan
dan upaya pengendalian merupakan hal yang penting untuk diperhatikan guna menurunkan
prevalensi penyakit Taeniasis maupun sistiserkosis. Tindakan pengendalian
meliputi :
1.
Menghilangkan
sumber infeksi dengan mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah
2.
Meningkatkan
pendidikan masyarakat dengan memberikan berbagai penyuluhan kepada masyarakat
3.
Meningkatkan
kebersihan Higiene, sanitasi diri dan lingkungan meliputi : Pembangunan sarana
sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih
4.
Melakukan
pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh
dokter Hewan
5.
Memberikan
pemahaman kepada Masyarakat tentang resiko yang akan diperoleh apabila memakan
daging mentah / setengah matang. Dan pentingnya untuk mengetahui manfaat memasak
daging hingga matang.
B.
SARAN
1. Diharapkan adanya peningkatan
pendidikan kesehatan masyarakat sehingga program pemberantasan penyakit cacingan
dapat dilakukan dengan tuntas.
2. Diharapkan adanya peningkatan sarana
sanitasi guna menunjang kehidupan yang lebih bersih dan sehat
3. Diperlukan adanya terobosan baru untuk
menemukan tehnik pemeriksaan yang relatif sederhana, namun dapat memberikan
sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Zaman,viqar
dan Ng Mah Lee, Mary. 2008.Atlas Medical
Parasitology.Yogyakarta: Graha Ilmu
Goldsmith,Robert
dan Donald,Heyneman.1989.Tropical
Medicine and Parasitology
Safar,
Hj.Rosdiana dan Nurhayati,Nunung.2010.Parasit
Kedokteran:protozologi, helmintologi, entomologi. Bandung :Yrama Widya
http://www.depkes.go.id
http://www.journal.ui.ac.id
http://www.repository.ipb.ac.id
Krisnandana,drh.
2009. Buletin penyakit Zoonosa edisi keempat. Direktorat kesehatan
masyarakat Deptan RI, Jakarta.
Markell, Voge, John.1993. Medical Parasitology, 7th edition. Mexico
-. 1997. Health research with developing countries, vol 3. RTD International
Cooperation
Brown, W Harold. 1982. Dasar Parasitologi Klinis.Jakarta : PT.
Gramedia
Jeffrey dan Leach. 1983. Atlas helminthologi & Protozologi Kedokteran
ed.2. EGC Penerbit buku kedokteran
Oleh : Griecilia ardagarini
Posting Komentar